Alur Perkembangan Properti Dan Budaya Bali

Bali culture
Bali culture
Image by Eyestetix Studio on Unsplash

Sudah ada banyak sekali perhatian yang ditujukan terhadap proyek-proyek pembangunan dan perkembangan tanah di pulau dewata Bali. Dan kebanyakan dari perhatian ini terdiri dari perspektif yang menentang perkembangan Bali yang nampaknya semakin menuju ke arah yang berlawanan dengan tradisi dan kultur Bali yang “asli”, untuk semakin menggoda turis untuk datang dan menghamburkan uang asing mereka di Indonesia. Dan pastinya, ini merupakan suatu persoalan yang serius yang perlu disadari kepentingannya. Benar juga bahwa jika tidak diatur dengan kesadaran swasta dan rakyat, permasalahan pengambangan Bali dapat benar-benar mengancam masa depan pulau ini dan budayanya yang dianggap unik dan eksentrik.

Seorang environmentalist dan penulis Norwegia, Arlid Molstad menerbitkan sebuah buku berjudul Where do We Go Before It’s Too Late: Two Faces of Tourism, dan ada satu bagian yang menggunakan Pulau Bali sebagai sebuah kasus. Dalam bab ini, dia menulis bahwa dalam masa-masa globalisasi yang diperkuat dengan keluar masuknya turis dari berbagai macam negara, budaya tradisional Bali secara relatif tertopang dengan baik sekali oleh populasi lokalnya. Kita mengerti bahwa satu faktor terbesar dalam industri turisme Bali adalah budayanya yang unik, yang tidak belum tentu berarti gaya hidup yang menarik; dan budaya ini perlu diawetkan… tapi bagaimana caranya?

Pertama-tama, perlu disadari bahwa budaya Bali sebenarnya adalah sebuah budaya yang terhasil dari percampuran berbagai budaya tamu-tamunya, termasuk orang-orang Tiongkok, India, Timur-Tengah, dan bahkan Eropa. Artinya, setiap pendapat orang-orang yang hidup di atau mengunjungi Bali sama saja sahnya; tapi, masih tidak ada satu solusi yang benar.

Sekarang coba kita lihat berbagai segi dan fakta dari topik ini. Biarpun beberapa segi-segi ini tidak pasti menyenangkan kalian semua, mereka harusnya membuka beberapa permasalahan yang dapat di temui dengan sifat yang bermanfaat di masa depan.

Tanah banyak yang dibeli dengan cepat untuk dikembangkan. Orang-orang Bali mengeluh bahwa tidak lama lagi, bisa-bisa mereka kehabisan wilayah di tanah air mereka sendiri, dan ini membuat leluhur mereka gelisah.

Tapi, kalau dilihat benar-benar sejarahnya, orang-orang Bali ini sebenarnya kebanyakan terdiri dari rakyat kerajaan Majapahit Jawa yang datang lebih dari tiga abad yang lalu! Lagi pula, caranya mereka mengambil wilayah di Bali dari orang-orang Bali di masa itu – Bali Aga – adalah dengan kekerasan, sampai orang Bali Aga terdorong ke daerah pegunungan. Tambah lagi, orang-orang Bali Aga aslinya datang dari Taiwan – jadi apa benar ada rakyat Bali yang “asli”? Paling nggak, perkembangan “asing” jaman sekarang bermanfaat positif bagi ekonomi Bali.

Lalu bagaimana dengan orang-orang bule aga, expat yang sudah menetap di Bali selama puluhan tahun, yang keluhannya sama saja dan bilang bahwa kita harus kurangi jumlah imigran di Bali?

Gemana kalau mereka sendiri yang pindah? Tidak adil dong, kalau mereka mau main monopoli dengan wilayah yang mereka sendiri datangi, dan maunya memaksa orang-orang lain yang sebenarnya sama saja dengan mereka untuk diam diluar.

Intinya, semua perkembangan dan perubahan di Bali sudah berlaku selama berabad-abad. Bedanya hanyalah bahwa perubahan ini sekarang berlangsung dengan jauh lebih cepat, karena teknologi kita yang lebih maju hari ini.

Ekonomi provinsi Bali sekitar 82% didorong oleh turisme dan perkembangan tanah dan properti. Biarpun dengan itu, perkembangan ekonomi Bali masih saja lebih lambat dari kebanyakan provinsi Indonesia yang lain. Kalau Bali dipaksa berhenti mengembangkan industri turisme dan propertinya, bagaimana bias Bali berkembang?

Budaya Bali sekarang biasanya dihubungkan dengan gaya hidup pertanian yang melekat dengan filosofi Tri Hita Karana. Saya setuju, ini perlu diawetkan, tapi bukan berarti orang Bali harus seumur hidupnya bertani dengan metode tradisional. Bukan berarti budaya Bali tidak bias berkembang dan berubah untuk menyesuaikan rakyatnya dengan dunia yang lebih lebar.

Faktanya adalah, industri turisme Bali terus berkembang tiap tahun. Tahun lalu, jumlah orang luar negeri yang datang ke Bali berkembang dari 3 juta ke 3.2 juta, dan turis Indonesia berkembang dari 6 ke 7 juta. Kalau dihitung-hitung, ambillah 1.2 juta tambahan ini, bilang tiap orang menetap berdua masing-masing, selama empat malam. Dibagi dengan jumlah kamar hotel rata-rata di Bali, 250, artinya Bali perlu 30 hotel baru untuk mengikuti keperluannya.

Banyak yang bilang bahwa permasalahan ini banyak sangkutannya dengan pemerintahan yang korup. Sampai tingkat yang tertentu, ini benar; tapi, belakangan ini, lebih banyak lagi sangkutannya dengan investor lokal dan juga internasional yang korup. Mereka adalah pembangun yang tidak mau mengikuti peraturan, hukum, dan regulasi yang sudah ditetapkan. Menurutku, pemerintahan Bali, dan Indonesia secara keseluruhan, berjalan ke arah yang lebih baik dengan cepat.

Jadi apa solusinya untuk masalah ini? Pertama-tama, perlu diprioritaskan perkembangan infrastruktur dan sistem pembuangan limbah. Habis itu, baru kita bisa menentukan solusi jangka panjang dengan kesadaran bahwa modernisasi di Bali tidak bisa dihentikan – kita Cuma bisa menentukan arah perkembangannya. Perkembangan Bali perlu ditujui ke arah yang lebih ramah terhadap lingkungan, direncanakan dengan lebih baik, dan menarik turis-turis yang lebih berkelas. Kalau kita bisa mengembangkan ekonomi dan budaya Bali dengan bertanggung jawab, di masa kapanpu juga, Bali akan masih menjadi sebuah tujuan yang ajaib yang pastinya menjadi tidak terlupakan bagi para pengunjung.

Translated from an original post by Terje H.Nilsen by Adam Handoko

Latest Article
Labuan Bajo: A New Frontier for Foreign Investment in Tourism and Infrastructure
  Labuan Bajo, a small fishing town on the western tip of Flores Island in Indonesia, serves as...
Learning Entrepreneurship Can Support Job Creation
Speaking in Jakarta on Wednesday (6/11/24), Coordinating Minister for Human Development and Cultural...
From Lakes to Waterfalls: 10 Iconic Destinations in West Sumatra, Indonesia
  West Sumatra, Indonesia, is a captivating province known for its stunning landscapes, rich Minangkabau...
Indonesia Moves to Cut Airline Ticket Prices Nation Wide
  In a significant move to enhance tourism and public accessibility, President Prabowo Subianto...
VFS Global to Introduce e-Visa on Arrival for 97 Nationalities
Travel Trade Gazette (TTG) Asia is reporting that the Indonesia Directorate General of Immigration has...

Andrzej Barski

Director of Seven Stones Indonesia

Andrzej is Co-owner/ Founder and Director of Seven Stones Indonesia. He was born in the UK to Polish parents and has been living in Indonesia for more than 33-years. He is a skilled writer, trainer and marketer with a deep understanding of Indonesia and its many cultures after spending many years travelling across the archipelago from North Sumatra to Irian Jaya.

His experience covers Marketing, Branding, Advertising, Publishing, Real Estate and Training for 5-Star Hotels and Resorts in Bali and Jakarta, which has given him a passion for the customer experience. He’s a published author and a regular contributor to local and regional publications. His interests include conservation, eco-conscious initiatives, spirituality and motorcycles. Andrzej speaks English and Indonesian.

Terje H. Nilsen

Director of Seven Stones Indonesia

Terje is from Norway and has been living in Indonesia for over 20-years. He first came to Indonesia as a child and after earning his degree in Business Administration from the University of Agder in Norway, he moved to Indonesia in 1993, where he has worked in leading positions in education and the fitness/ wellness industries all over Indonesia including Jakarta, Banjarmasin, Medan and Bali.

He was Co-owner and CEO of the Paradise Property Group for 10-years and led the company to great success. He is now Co-owner/ Founder and Director of Seven Stones Indonesia offering market entry services for foreign investors, legal advice, sourcing of investments and in particular real estate investments. He has a soft spot for eco-friendly and socially sustainable projects and investments, while his personal business strengths are in property law, tourism trends, macroeconomics, Indonesian government and regulations. His personal interests are in sport, adventure, history and spiritual experiences.

Terje’s leadership, drive and knowledge are recognised across many industries and his unrivalled network of high level contacts in government and business spans the globe. He believes you do good and do well but always in that order. Terje speaks English, Indonesian and Norwegian.

Contact Our Consultants

[wpforms id=”43785″]

Ridwan Jasin Zachrie

CFO of Seven Stones Indonesia, Jakarta

Ridwan is one of Indonesia’s top executives with a long and illustrious career in the financial world. He holds several professional certifications including being a Certified Business Valuer (CBV) issued by the Australian Academy of Finance and Management; Broker-Dealer Representative (WPPE); and The Directorship Certification for Directors and Commissioners, issued by the Indonesian Institute of Commissioners and Directors.

His experience includes being the Managing Director at one of the top investment banking groups in the region, the Recapital Group, the CFO at State-owned enterprises in fishery industry and the CEO at Tanri Abeng & Son Holding. He’s also been an Independent Commissioner in several Financial Service companies and on the Audit and Risk Committee at Bank BTPN Tbk, Berau Coal Energy Tbk, Aetra Air Jakarta as well as working for Citibank, Bank Mandiri and HSBC. His last position was as CFO at PT Citra Putra Mandiri – OSO Group.

Ridwan has won a number of prestigious awards including the Best CFO Awards 2019 (Institute of Certified Management Accountant Australia-Indonesia); Asia Pacific Young Business Leader awarded by Asia 21 Network New York USA (Tokyo 2008); UK Alumni Business Awards 2008 awarded by the British Council; and The Most Inspiring Human Resources Practitioners’ version of Human Capital Magazine 2010.

He’s a member of the Board of Trustees of the Alumni Association of the Faculty of Law, Trisakti University, Co-Founder of the Paramadina Public Policy Institute and actively writes books, publications and articles in the mass media. He co-authored “Korupsi Mengorupsi Indonesia” in 2009, which helps those with an interest in understanding governance in Indonesia and the critical issue of corruption. Ridwan speaks Indonesian and English.

Per Fredrik Ecker

Managing Director of Seven Stones Indonesia, Jakarta

Per is the Managing Director of the Seven Stones Indonesia (SSI) Jakarta office and has more than 25-years’ experience in Indonesia, China, and Western Europe. He previously worked in senior management positions with Q-Free ASA, Siemens AG, and other companies in the telecom sector. Over the last six years, he has been the Chairman of the Indonesia-Norway Business Council (INBC) and recently become elected to be on the board of EuroCham Indonesia.

His most recent experience is within Intelligent Transport Solutions (ITS), Telecom, and other sectors within the Indonesian market. He is today through his position in SSI and by representing Norway Connect, promoting Nordic and European companies that would like to explore business opportunities in the Indonesian market. He’s also playing an active role to help create the Nordic House concept in Jakarta that will provide an excellent platform for Nordic companies entering Indonesia, where they’ll find a community that can offer support with trusted information and affordable services to enter this market.